Taujih Pekanan Ketua PKS Kepri : Dari Dakwah Hingga Memimpin Negara
Fase dakwah dan fase Negara masing-masing memiliki karakteristik dan  fikih tersendiri. Dengan izin Allah Ta’ala, kita telah menyaksikan satu  gerakan dakwah berhasil sampai ke istana negara. Namun, dakwah adalah  tugas para pengikut Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sampai akhir  zaman, karenanya ia tidak berhenti begitu aktivis berhasil memegang  tampuk pemerintahan.  Tiba saatnya, dakwah yang dulunya berjalan  sendiri, kini berdampingan dengan otoritas dan kekuatan untuk  berpartisipasi dalam rekonstruksi dan pembangunan bangsa.
Proses transisi dari dakwah kepada negara terjadi begitu cepat, bak  perahu yang melaju kencang dihembus angin.  Laju yang terlalu cepat  terkadang menghilangkan koherensi dan keseimbangan kita. Abdurrahman Ibn  Auf radhiyallahu ‘anhu mengilustrasikan kondisi ini dalam ungkapannya:  “Kami diuji dengan kesusahan tapi kami dapat bersabar, kemudian kami  diuji dengan kesenangan, namun kami tidak dapat bersabar.”(1)
Selama berdakwah, biasanya ikatan batin seorang hamba kepada Rabb-nya  sangatlah kuat. Kesadarannya cukup tinggi, dan selalu mengembalikan  semua urusan kepada-Nya. Para da’i mempunyai aktivitas rutin du’at yang  mulia, seperti belajar dan mengajar, memberi nasehat dan bimbingan  kepada manusia. Berdiam diri di masjid, seraya memaksimalkan ibadah.   Hatinya lembut, dipenuhi rasa ukhuwah, dan cinta karena Allah.
Perjalanan dakwah semakin indah, manakala seorang hamba ditimpa musibah,  yang membuatnya lebih tunduk dan merendah diri di hadapan Allah. Doa  dari hati yang pedih dan jiwa penuh luka senantiasa terhatur  ke  haribaan  Sang Pencipta. Sepertiga malam terakhir adalah momen terindah,  yang sepi lagi syahdu, menambah  rasa tenang dan dekat kepada Allah  Yang Maha Pengasih. Hingga luka dan pedih hati yang sudah mencapai  puncaknya, terobati dengan munajat kepada-Nya. Seperti halnya yang  terjadi pada saudara-saudara Nabi Yusuf alaihis salam, saat mereka  meminta bantuan dengan penuh harap:
{مَسَّنَا وَأَهْلَنَا الضُّرُّ وَجِئْنَا بِبِضَاعَةٍ مُّزْجَاةٍ فَأَوْفِ لَنَا الْكَيْلَ وَتَصَدَّقْ عَلَيْنَا} [يوسف: ٨٨]
“Hai Al Aziz, kami dan keluarga kami ditimpa kesengsaraan, dan kami  datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah  sukatan untuk kami, dan bersedekahlah kepada kami. “(QS. Yusuf: 88)
Inilah puncak ketergantungan kepada Allah. Maka Allah menurunkan penawar  bagi mereka dengan hembusan rahmat-Nya dan keluasan maghfirah-Nya,  sebab Allah Maha mengetahui apa yang menimpa mereka:
{وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [البروج: 9]
“ Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Buruj: 9)
Maka, Dia hapus segala luka dan duka mereka:
{فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ} [الفتح: 18]
“Maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka.” (QS. Al Fath: 18)
Allahu akbar. Alangkah indahnya saat-saat itu, momen pembersihan  hati  dari segala keburukan dan kesusahan duniawi. Memutuskan semua hubungan  kepada sesama makhluk, menuju ikatan erat kepada Allah yang Maha Esa dan  Perkasa. Dan sungguh jauh perbedaan antara keduanya:
{مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلا مُمْسِكَ لَهَا} [فاطر: ٢]
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya.” (QS. Faathir: 2)
Anda dapat bayangkan proses transisi  dahsyat tersebut, yang  membawa  seorang hamba ke suasana baru dengan nuansa berbeda. Hanya  manusia  berjiwa besar dan mulialah  yang mampu bertahan di hadapannya. Yaitu   mereka yang jiwanya dekat  dan terikat dengan Dzat yang ada di langit,  sementara jasadnya masih di dunia. Maka, ketika mereka sampai pada  tampuk kekuasaan, jiwanya tetap kosisten dengan kondisi saat berdakwah  yang pernah dihiasi berbagai musibah dan cobaan.
Lihatlah Umar Ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, saat ia berbicara  menghardik dirinya: “Umar Ibn Khattab? Seorang Amirul mukminin? Demi  Allah, kau harus taat kepada Allah, jika tidak, Allah pasti mengazabmu.  Duhai, andai saja ibu Umar tidak melahirkan Umar.”
Beliau juga berkata: “Sungguh aku berharap keluar dari dunia dengan bersih, tanpa salah dan dosa.” (2)
Ketika ajal hampir menjemputnya, ia berkata kepada Abdullah putranya:  “Letakkanlah wajahku di atas tanah…”, kemudian dia berkata: “Celakalah  aku, jika Allah tidak mengampuniku.” (3)
Ketika Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib berada di mihrabnya, dengan  penuh gelisah sambil memegangi jenggotnya ia berkata: “Wahai dunia,  godalah orang lain, apakah kau tidak puas menggangguku? Ketahuilah, aku  telah ceraikan engkau tiga kali, dan takkan pernah rujuk lagi. Usiamu  pendek, dan ancamanmu sangat hina.” (4)
Maslamah Ibn Abdul Malik bercerita, aku menemui Umar Ibn Abdul Aziz saat  beliau sakit. Aku melihat pakaiannya kotor dan usang, maka aku berkata  kepada Fathimah istrinya: “mengapa kalian tidak mencuci pakaian amirul  mukminin?” Fathimah menjawab, “demi Allah, dia tidak punya pakaian  selainnya.” Kemudian beliau menangis, dan Fathimah ikut menangis, lalu  seluruh isi rumah ikut menangis. Setelah tangisnya berhenti, Fathimah  bertanya, “apa gerangan yang membuat Anda menangis?”  Maka beliau  menjawab, “aku mengingat saat manusia kelak berkumpul di hadapan Allah :
{فَرِيقٌ فِي الْـجَنَّةِ وَفَرِيقٌ فِي السَّعِيرِ} [الشورى: ٧]
“Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka”. (QS. Asy Syura’: 7)
Dan aku tidak tahu, termasuk golongan yang manakah aku?” (5)
Inilah alumni madrasah nabawiyah, mereka dididik dan dibentuk di  dalamnya. Madrasah yang mengajarkan ketergantungan pada akhirat dan  menjauhi dunia. Mereka menempatkan dunia pada posisi sebenarnya, hingga  saat sampai pada kekuasaan, jiwanya tetap bersih dan konsisten.
Umar telah menceritakan kepada kita, bagaimana Rasulullah mendidiknya  agar jangan tergiur dengan kenikmatan dan perhiasan dunia. Beliau  bercerita:
Suatu hari aku bertamu ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,  dan beliau sedang berbaring di atas tikar. Aku kemudian duduk,  Rasulullah memperbaiki sarung beliau, dan hanya itu yang beliau kenakan.  Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, tanpa sengaja aku  melihat laci milik beliau, di dalamnya hanya terdapat segenggam gandum,  dan ada sepotong kulit yang belum disamak tergantung di sudut rumah.  Maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang  membuatmu menangis wahai Ibn Khattab?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah,  bagaimana aku tidak menangis, sedangkan aku melihat bekas tikar di  punggungmu, dan kendi makananmu kosong. Sungguh Kisra (raja Persia.) dan  Kaisar (raja Romawi) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah  utusan Allah.” Beliau menjawab, “Wahai Ibn Khattab, tidakkah engkau  ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (6)
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: “Apakah engkau ditimpa keraguan  wahai Umar? Mereka adalah kaum yang  seluruh kesenangannya disegerakan  di dunia.”  Dan Rasulullah wafat, sementara baju besinya tergadai pada  seorang Yahudi.
Semua itu adalah isyarat bagi para da’i, manakala mereka memegang  wewenang mengatur negara. Seakan berpesan: Ketahuilah, kalian tidak akan  berhasil hingga kalian tetap mengingat Allah dan konsisten di atas  syari’at-Nya dalam setiap aktivitas. Bergantunglah dan bertakwalah  kepada Allah dalam diri dan semua urusanmu.  Hendaklah hatimu hidup  untuk akhirat, meski jasadmu hidup di dunia, dan janganlah kalian  lupakan ayat ini:
{عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ} [الأعراف: 1٢9]
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khafilah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al A’raf:129)
Ya, niscaya Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu!
__________________________________
(1). Mushannaf Abdur Razzaq, no. 20997.
(2). HR. Bukhari, no. 7218.
(3). Ibn Syaibah, Tarikh Al Madinah, juz III, h.919.
(4). Al Riyadh Al Nadhirah, juz I, h. 276.
(5). Al Bidayah wa Al Nihayah, juz IX, h. 240.
(6). HR. Bukhari no. 4913, dan Muslim no. 3676.



0 $type={blogger}